Hukum Acara Perdata : Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata

Dalam beracara di pengadilan perdata, terdapat beberapa cara untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Menurut Paton, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan seseorang dalam persidangan. Termasuk kedalam alat bukti yang bersifat documentary adalah surat. Sedangkan termasuk dalam alat bukti yang bersifat material adalah barang fisik lainya selain dokumen (demonstrative evidence).

Menurut sistim HIR, dalam acara perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (ps. 164 HIR. 284 Rbg. 1866 BW) ialah alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

1. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 285-305 Rbg. S 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis atu surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

2. Pembuktiaan Dengan Saksi
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168 -172 HIR (pasal 165-179 Rbg), 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan peribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.
Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (139 HIR) baik formil maupun materiil tidak boleh didengarkan sebagai saksi.
Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara tertulis.

3. Persangkaan
Pada hakekatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya saja pembuktian daripada ketidakhadiran seseorang pada waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadiranya pada waktu yang sama di tempat yang lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.

4. Pengakuan
Diatur dalam pasal 174, 175, 176 HIR.
Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.

5. Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam ps 155-158, 177 HIR.
Ada 3 macam alat bukti sumpah yaitu sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decesoir) dan sumpah penaksiran (aesimator)

6. Pemeriksaan Setempat (descente)
Terdapat dalam pasal 153 HIR. Bahwa bila ketua majelis menganggap perlu dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris dari majelis yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan yang dapat memberi keterangan pada hakim.

7. Keterangan Ahli (exspertise)
Diatur dalam pasal 154 HIR yang menentukan bahwa apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya dapat dijelaskan oleh seorang ahli maka atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatanya pengadilan dapat mengangkat seorang ahli

Sumber :
Mertokusumo, Soedikno.1997.Hukum Acara Perdata Indonesia.Liberty:Yogyakarta


Comments

Popular posts from this blog

Hukum Internasional : Pengertian Konsep Exhaustion of Local Remedies

Jenis - Jenis Diplomasi

Fiksi Hukum

Alasan Menjadikan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai Saat Lahirnya Tata Hukum Indonesia

Hukum Internasional : Pembubaran Organisasi Internasional