Hukum Adat : Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam



Tanah dan sumber daya alam merupakan hal yang sangat penting artinya bagi kehidupan bahkan eksistensi dari masyarakat adat. Betapa pentingnya hal ini sampai bisa dikatakan bahwa tanah merupakan rasione d’etre bukan saja bagi kehidupan sosial, budaya,spiritual, ekonomi, dan politik mereka, melainkan juga bagi eksistensi mereka. Maka dari itu sangat penting adanya perlindungan akan hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.
Namun, sejarah menjadi saksi bagaimana perampasan dan pengambilalihan tanah telah menjadi bagain dari takdir dan perjuangan masyarakat adat. Seperti yang dikatakan Hurst Hannum, seorang pakar hukum internasional, “sejarah dari masyarakat adat sebagian besar merupakan kronik atau catatan dari upaya-upaya mereka yang gagal dalam mempertahankan tanah mereka melawan penjajah”.
Gagasan mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat dapat dilacak dari masa awal periode kolonial, ketika para misionaris dan cendekiawan menaruh perhatian dan mencoba untuk memastikan bahwa masyarakat adat pada masa itu terlindungi dari tindakan-tindakan dari para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh akses sumber daya alam dan menjadikan mereka tenaga kerja.
Pada akhir Perang Dunia I, lahir sebuah doktrin dikembangkan pada “perwalian” (trusteeship). Hal ini tampak jelas dari praktik Liga Bangsa-Bangsa. Pasal 22 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa mengatur tentang “bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri ditengah kondisi dunia modern yang berat” dan melihat dalam “ketentraman dan perkembangan” mereka sebuah “peradaban luhur”. Sembari menentukan tentang ide perwalian, alhasil, pasal 23 dari Konvenan tersebut mengharuskan para anggota dari Liga Bangsa-Bangsa untuk melakukan “tugas positif” untuk “berusaha memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dari wilayah yang berada dibawah kontrol mereka”.
Namun demikian, Piagam PBB tidak memberikan perhatian pada permasalahan dan hak-hak masyarakat adat. Pasal 73 dari piagam ini hanya merujuk ke “wilayah dimana penduduknya belum memperoleh secara penuh sistem pemerintahan sendiri (self government)”, suatu konsep yang tidak memiliki relevansi dengan isu masyarakat adat.
Masalah utama yang hadir yakni diskriminasi dalam kebijakan-kebijakan negara, perundang-undangan, dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat adat, khususnya dalam bidang hak atas sumber daya alam, terkait dengan hak untuk tidak didiskriminasi (right to non-dicrimination). Berkenaan dengan hal ini, kita dapat mengidentifikasi beberapa hak-hak asasi masyarakat adat yang terkena dampak atau dipengaruhi oleh kebijakan tersebut :

1.     Hak untuk Tidak Didiskriminasikan

Doktrin tentang hak pribumi (aboriginal title), atau doktrin terra nullius (tanah tanpa pemilik) yang menjadi dasar hukum bagi legislasi di beberapa negara, adalah doktrin diskriminatif. Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan dengan persamaan hal di hadapan hukum. sebagai konsep fundamental dalam hak asasi manusia, kedua prinsip ini telah dijamin dalam berbagai instrumen, seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2 dan 7), kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (pasal 2 ayat 1, pasal 3 dan pasal 26) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 2 ayat (2) dan (3) dan Pasal 3) dan Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.
Setelah mendeklarasikan bahwa semua orang diakui hak dan kemerdekaannya tanpa diskriminasi (Pasal 2 dan 7 UDHR, Pasal 2 dan 26 ICCPR, Pasal 2(2) ICESR, Pasal 1(1) ICERD) instrumen-instrumen tersebut juga mengharuskan negara-negara untuk mengambil tindakan positif untuk melindungi individu-individu dari diskriminasi tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Gudmundur Alfredson, “orang-orang yang merupakan bagian dari minoritas dan masyarakat adat akan memperoleh keuntungan dari ketentuan-ketentuan tentang penikmatan hak secara setara dan non diskriminasi”
Komite HAM telah memberi komentar bahwa prinsip non-diskriminatif dalam ICCPR menuntut negara-negara pihak untuk tidak hanya mengambil tindakan perlindungan, tetapi juga affirmative action dalam upaya untuk menjamin hak-hak positif.
Perlu dicatat bahwa prinsip non-diskriminasi yang diatur dalam instrumen-instrumen di atas berlaku bagi pemegang atau pemilik individual dari masing-masing hak. Hal ini jelas dai rumusan tersebut “setiap orang..” atau “semua orang..”. Hal ini dapat dimengerti, karena hampir semua hak-hak yang diatur dalam instrumen-instrumen tersebut adalah hak-hak individual. Namun demikian, dari perspektif perlindungan masyarakat adat sebagai kelompok, standar-standar perlakuan dan non diskriminatif di atas masih terasa kurang.

2.     Hak-Hak atas Tanah dan Sumber Daya Alam

Karena hak-hak atas tanah dan sumber daya alam menjadi bagian atau jenis dari hak kepemilikan (right to property), pasal 17 UDHR haruslah dijadikan referensi pertama. Pasal ini menetapkan bahwa (1) semua orang memiliki hak untuk memiliki harta benda baik sendiri maupun bersama pihak lain (2) tidak seorangpun yang boleh dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang. Rumusan Pasal 17 luas dan komprehensif, dia berlaku untuk kepemilikan property (harta benda) baik dalam individual maupun kolektif.
Oleh karena itu, hak kolektif dari properti (harta benda), termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam, mempunyai landasan hukum dalam ketentuan Pasal 17 ini. Hak ini sangat penting dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam, karena sifat kolektif dari hak-hal masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam ini sangat signifikan. Hak yang dilindungi dalam pasal 17 UDHR ini tidak bersifat mutlak, dalam arti bahwa seseorang dapat diambil hak miliknya, asalkan hal tersebut dilakukan sesuai dengan proses hukum adil dan fair (due process law), tanpa diskriminasi dan dengan kompensasi yang adil.

3.     Hak atas Kebudayaan

Komite Hak Asasi Manusia, dalam Komentar Umum atas pasal 27 ICCPR, melihat pentingnya hubungan dan hak masyarakat adat tanah dan sumber daya alam, dalam pengejawantahan dan pelaksanaan hak-hak kebudayaan mereka.
Instrumen hak asasi manusia intenasional melindungi hak atas budaya, tetapi tidak memberikan definisi tentang konsep “budaya”. Di dalam UDHR perlindungan atas hak ayas kebudayaan diatur dalam Pasal 27 ayat 1 dari pasal tersebut melindungi antara lain, “hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya” dan “untuk berbagi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan manfaatnya”
Inti dari hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya tersebut mencakup sejumlah aspek, seperti : hak untuk mengejawantahkan kebudayaan seseorang; menghargai kebudayaan orang lain, integritas dan dinamismenya; persamaan akses; menghormati prinsip-prinsip non diskriminasi; dan perlindungan dan pengembangan budaya yang diikutinya.
4.     Hak untuk Berpartisipasi
UDHR melindungi hak untuk berpartisipasi dalam dua pasal, yaitu pasal 21 (hak untuk berpartisipasi dalam urusan politik bangsa) dan Pasal 27 (tentang hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya di masyarakat). Dalam ICCPR, hak tersebut dilindungi dalam pasal 25 (tentang hak untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, dalam pemilihan umum, dan untuk memiliki akses terhadap layanan publik). Pasal 15 dari ICESR melindungi hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan budaya dan untuk menikmati keuntungan atau manfaat dari produk budaya.
Dalam Konferensi Rio, seperti agenda 21 dan Prinsip-prinsip Kehutanan (Forest Principles) juga mengakui hak masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam hal-hal yang doiatur dalam dua instrumen tersebut, prinsip-prinsip kehutanan misalnya, mendesak pemerintah untuk memajukan dan menyediakan kesempatan bagi partisipasi komunitas lokal dan masyarakat adat dan kelompok lainnya, dalam pembangunan, implementasi dan perencanaan kebijakan kehutanan nasional.

5.     Hak atas Lingkungan yang Sehat

Pasal 12 ICESR menyediakan suatu perlindungan “tersirat” atas hak ini. Sambil menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang diperoleh (Pasal 12 ), ICESR membebankan kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah demi terealisasinya hak ini secara penuh, termasuk misalnya, peningkatan semua aspek kebersihan/kesehatan lingkungan dan industri (Pasal 2 ayat (2) b).
Rujukan untuk hak atas lingkungan yang sehat dalam konvensi ILO 169 terdapat dalam pasal 4 ayat (4) yang menentukan bahwa “Pemerintah harus mengambil tindakan, bekerja sama dengan masyarakat adat terkait, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dari wilayah tempat mereka hidup”.
Hak atas lingkungan yang sehat ini memiliki relevansi yang khusus bagi masyarakat adat karena proyek-proyek pembangunan di wilayah mereka dalam banyak kasus menimbulkan dampak yang sangat serius terhadap lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat adat.

6.     Hak untuk Memberikan Persetujuan (Right to Consent)

Dalam ILO 169, hak untuk memberikan persetujuan ini dilindungi dalam Pasal 6 (2) dan pasal 16 (2). Pasal 6 (2) melindungi hak untuk memberikan persetujuan (right ro consen) dari masyarakat adat ketika, dalam upaya untuk menerapkan kovensi, pemerintah mempertimbangkan atau merencanakan program-program di bidang hukum atau administratif yang mungkin berdampak pada kehidupan mereka secara langsung.


referensi 
Bosko, Rafael Edy.2006.Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam.Elsam:Jakarta

Comments

Popular posts from this blog

Hukum Internasional : Pengertian Konsep Exhaustion of Local Remedies

Jenis - Jenis Diplomasi

Fiksi Hukum

Alasan Menjadikan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai Saat Lahirnya Tata Hukum Indonesia

Hukum Internasional : Pembubaran Organisasi Internasional