Hukum Internasional : Perkembangan Wilayah Hukum Laut Indonesia
a. Sejak Proklamasi Kemerdekaan (17
Agustus 1945) hingga 13 Desember 1957
Wilayah Indonesia sejak
kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, masih mengikuti Territoriale Zee En Maritieme
Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939, dimana lebar laut wilayah Indonesia
adalah 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing pantai pulau di Indonesia.
Penetapan lebar wilayah ini tentu tidak mendukung konsep wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi hal ini lebih terasa lagi munculnya
pergolakan dan pemberontakan daerah-daerah yang berlangsung di masa tersebut.
Mengingat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia merupakan dorongan kuat untuk
mewujudkan kemakmuran yang ada di seluruh wilayah, maka keinginan ini pun
sedikit-demi sedikit bisa terwujud hingga sekarang (Soemarsono, dkk, 2001: 67).
b. Dari Deklarasi Juanda
Sebagai tonggak kesatuan wilayah,
pada tahun 13 desember 1957 Deklarasi Juanda mengukuhkannya, seperti terekam
dalam deklarasinya sebagai berikut: “...Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan
yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagianbagian yang wajar dari pada wilayah
daratan negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman
atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu
lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapalkapal asing dijamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan teritorial (yang
lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang
terluar pada pulau-pulau negara Indonesia...”. Deklarasi ini menyatakan bahwa
bentuk geografis Indonesia adalah archipelego yang terdiri dari ribuan pulau
besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Deklarasi juga menyatakan
bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang
terkandung di dalamnya, pulau-pulau, serta laut yang ada di antaranya harus
dianggap sebagai kesatuan utuh dan bulat.
Untuk mengukuhkan ini maka ditetapkanlah
Undangundang Nomor.4/prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Maka sejak saat
itu luas wilayah indonesia menjadi bertambah luas yakni dari +2 juta km²
menejadi +5 juta Km², dimana +65% wilayahnya terdiri dari laut/perairan,
sedangkann +35% lagi adalah daratan.
Jika dirinci Daratan Indonesia sendiri
terdiri dari 17.508 buah pulau-pulau antara lain 5 pulau besar (Sumatera,
kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian jaya (papua)) dan +11.808 pulau-pulau
kecil yang belum (ada) diberi nama. Luas daratan dari seluruh pulau-pulau
tersebut +2.028.087 km², dengan panjang pantai 81.000 km. Topografinya berupa
pegunungan dengan gunung-gunung yang masih aktif maupun tidak aktif.
(Soemarsono, dkk, 2001: 68).
c. Dari 17-2-1969 (Deklarasi Landas Kontinen)
Sampai Sekarang
Deklarasi tentang landas kontinen negara Indonesia merupakan konsep politik
yang berdasar konsep wilayah. Deklarasi ini semakin memantapkan konsep wawasan
Nusanatara juga upaya mewujudkan amanat undang-undang seperti tersurat dalam
pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dengan konsep tersebut konsekuensinya segala sumber
kekayaan alam dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara
Indonesia. Asas-asas pokok yang termuat dalam deklarasi Deklarasi Landas
kontinen tersebut sebagai berikut:
a)
Segala sumber daya kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia
yang merupakan milik eksklusif adalah milik negara RI.
b)
Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen
dengan negara tetangga melalui perundingan.
c)
Jika tidak ada garis batas, maka landas kontinen adalah suatu garis yang
ditarik di tengah-tengah pulau terluar Indonesia dengan wilayah terluar negara
tetangga.
d)
Klaim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas
landas kontinen Indonesia maupun udara di atasnya.
Demi
kepastian hukum dan melindungi kebijakan pemerintah, asas-asas pokok berkait
dengan aturan-aturan landas kontinen telah diatur dalam Undang-undang No.1
tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. UU ini juga memberi dasar bagi
pengaturan eksplorasi serta penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam di landas
kontinen dan masalah-masalah yang ditimbulkannya (Kaelan MS, 2007: 134-135).
Lebih jelasnya, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menjelaskan landas
kontinen suatu negara berpantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut, terletak di luar laut teritorialnya sepanjang
merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil laut dari
garis pangkal darimana batas teritorial diukur, atau dapat lebih dari itu
dengan tidak melebihi 350 mil, atau tidak boleh melebihi 100 mil dari batas
kedalaman dasar laut sedalam 2500 m. Dalam menetapkan ZEE maupun landas
kontinen dimana dua negara atau lebih berdampingan atau berhadapan pantainya,
ditentukan melalui kesepakatan atau perundingan sebagaimana halnya pada laut
teritorial (Lemhannas, 1997:55).
d. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Pengumuman
pemerintah ihwal Zona Ekonomi Eksklusif terjadi pada tanggal 21 maret 1980.
Melalui perjuangan yang sangat panjang di forum internasional, akhirnya pada
konferensi PBB tentang hukum laut II di New York 30 April 1982 menerima The
United Nation and Covention on The Law of the Sea (UNCLOS) yang ditandatangani
tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica oleh 117 Negara termasuk
Indonesia.
Konvensi
tersebut mengakui konsep “negara Kepulauan” (Archipelegic State Prinsiple)
serta menetapkan asas-asas pengukuran ZEE. Pemerintah dan DPR RI akhirnya
menetapkan UU No.5 tahun 1983 tentang ZEE, serta UU. No.17 tahun 1985 tentang
ratifikasi UNCLOS. Sejak 3 Februari 1986 akhirnya Indonesia telah tercatat
sebagai salah satu 25 negara yang telah meratifikasinya (Kaelan MS, 2007: 135).
Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 mengatur hak dan kewajiban negara kepulauan.
Konvensi tersebut pada dasarnya merupakan pengakuan dunia Internasional
terhadap konsep negara kepulauan. Setelah 16 November 1994 HLI 1982 sebagai
hukum positif masyarakat bangsa dapat diartikan pula sebagai keberhasilan
bangsa Indonesia memperjuangkan Wawasan Nusantara di hadapan masyarakat
Bangsa-Bangsa (Lemhannas, 1997:56).
Implementasi
Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara dalam kehidupan nasional Indonesia mencakup
di dalamnya kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pada tahap implementasinya wawasan nusantara bisa digunakan sarana peneguh
maupun pancaran dari falsafah pancasila, sebagai landasan pembangunan, benteng
perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu-kesatuan sosial budaya, maupun
perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan.
Comments
Post a Comment