Hukum Pidana : Hukuman Korupsi di Indonesia


Terminologi korupsi berasal dari bahasa Belanda (Corruptie) yang dapat diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian.

Berdasarkan UU No 31 tahun 1999 j.o UU No 20 tahun 2001, tindak pidana korupsi digolongkan menjadi 7 kategori :
1.      Perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara/perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3)
2.      Suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d, serta Pasal 13)
3.      Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 huruf a, b dan c)
4.      Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g dan f)
5.      Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c dan  d, Pasal 12 huruf h)
6.      Kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i)
7.      Gratifikasi (Pasal 12 B jo Pasal 12 C)

Perlu diketahui bahwa periode pemberantasan korupsi sudah dimulai sejak awal kemerdekaan, kasus korupsi mencuat sejak Tahun 1956 dengan diangkatnya kasus korupsi di media cetak oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah dipenjara (1961). Dasar hukum yang digunakan adalah KUHP terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negeri (ambtenaar), yaitu pada Bab XXVIII Buku Kedua KUHP.

Seiring berjalannya waktu, korupsi mulai jadi perhatian serius. Hal ini senada dengan diberlakukannya UU No. 24 Prp tahun 1960, dan membentuk sejumlah badan pemberantasan korupsi. Seperti : Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantas Korupsi (Keppres No. 228/1967), Tim Komisi Empat (Keppres No. 12/1970) dan Komite Anti Korupsi/KAK (1967).

Namun pelaksanaan dari UU No. 24 Prp tahun 1960 dinilai menuai kegagalan. Diantaranya karena Pelaku korupsi hanya pegawai negeri dan Sistem pembuktian yang lama dan menyulitkan. Hal inilah yang menyebabkan UU No. 24 Prp 1960 diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 diikuti dengan pembentukan lembaga Dibentuk Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), pengaktifan kembali Tim Pemberantas Korupsi (1982), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara/KPKPN (Keppres 127/1999)
Barulah pada tahun 1999 undang undang mengenai korupsi disempurnakan menjadi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan diikuti pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/TGTPK (PP 19/2000) dan KPK (UU 30/2002).

Karakteristik UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi :
  1. ·      Merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, bukan delik materiil. Sehingga pengembalian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa, melainkan hanya merupakan faktor yang meringankan pidana
  2. ·         Mencantumkan korporasi disamping perorangan sebagai subyek hukum
  3. ·    . Mencantumkan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang (balanced burden of proof)
  4. ·         Mencantumkan yuridiksi ke luar batas teritorial atau extrateritorial jurisdiction
  5. ·         Mencantumkan ancaman pidana minimum khusus disamping ancaman pidana maksimum
  6. ·         Mencantumkan ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan dalam hal-hal tertentu, seperti negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, tindak pidana korupsi dilakukan sebagai pengulangan tindak pidana atau negara dalam keadaan krisis ekonomi
  7. ·         Mengatur tentang pembekuan rekening tersangka/ terdakwa yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan
  8. ·         Mencantumkan tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan atas saksi dan pelapor lebih maksimal
  9. ·         Mengamanatkan pembentukan KPK sebagai lembaga independen

Jenis-jenis pidana di dalam UU no. 31 tahun 1999 j.o UU no. 20 tahun 2001
  1.  Jenis pidana yang diancam mati, penjara seumur hidup, penjara waktu tertentu (1-20 tahun), denda (50 juta-1 M).
  2. ·         Pidana mati dapat dijatuhkan (Pasal 2) jika korupsi dilakukan dalam hal tertentu, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, krisis moneter, atau pengulangan korupsi
  3. ·         Ketentuan pidana telah mengenal pidana minimal khusus dan maksimal khusus, sebagai batasan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku.
  4. ·         Pidana bagi percobaan, permufakatan jahat, pembantuan tidak ada pengurangan 1/3 sebgaiamana dalam KUHP, akan tetapi dipidana sama seperti pelakunya (Pasal 15 dan 16)
  5. ·         Pidana tambahan (Pasal 18) yaitu ; perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan usaha, dan pencabutan hak
  6. ·         Adanya pidana penyitaan harta benda pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan
  7. ·         Dikenal adanya pidana penjara pengganti jika terdakwa tidak mampu membayarkan pidana pembayaran uang pengganti dengan maksimum tidak melebihi pidana pokoknya
  8. ·         Pidana denda bagi pelaku korporasi diperberat dengan tambahan 1/3 dari pidana denda pokok untuk pelaku orang/manusia (pasal 20)


 sumber :
UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Catatan pribadi

Comments

Popular posts from this blog

Hukum Internasional : Pengertian Konsep Exhaustion of Local Remedies

Jenis - Jenis Diplomasi

Fiksi Hukum

Alasan Menjadikan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai Saat Lahirnya Tata Hukum Indonesia

Hukum Internasional : Pembubaran Organisasi Internasional